Tradisi Palang Pintu
Sepenggal kalimat berbalas pantun di atas bukan tengah terjadi perkelahian atau perseteruan di antara kedua orang. Melainkan keterlibatan aksi saling berbalas pantun sebagai tanda pembukaan dalam sebuah acara pernikahan dalam budaya betawi. Interaksi yang disertai dengan atraksi pencak silat ini lazim dikenal sebagai seni palang pintu.
Budaya palang pintu adalah seni yg biasa nya di gunakan atau dapat dilihat atraksinya dalam pernikahan acara adat betawi, khususnya saat kedatangan besan (calon pengantin mempelai pria), penerimaan tamu kehormatan, dan lain-lain. "Palang pintu jadi tradisi betawi tempo dulu setiap ada acara pernikahan dan menyambut tamu-tamu,"kata BANG. RIFKY, Pembina Sanggar Seni CUCU BETAWI Meruya, saat ditemui di kediamannya di jalan Kartika Rt.003/04 Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat, kemarin.
Jika ingin mencari identitas budaya di Kota Jakarta Barat, kata Bang Rifky, palang pintu sangat tepat menjadi seni tradisional daerah. Kultur budaya betawi sudah kadung melekat dalam diri masyarakat di daerah hasil pemekaran dari DKI Jakarta. Apalagi seiring dengan perkembangan jaman yang sudah modern, kesenian tradisional daerah lambat laun terancam punah, harus dilestarikan.
"Saya sangat khawatiran bila bukan kita yang mempertahankan seni warisan nenek moyang ini, Karena punya kecintaan. Punya firasat kedepannya kalau tidak ada yang peduli kesenian ini akan pudar. Dan yang saya pegang amanah dari leluhur," tegas pria kelahiran Jakarta yang bekerja Free Lance di kantor Kementrian Perdagangan RI sebagai Tehnisi Komputer ini.
Diiringi alunan musik Marawis, Hadroh, Gambang, ataupun Tanjidor beberapa orang pendekar menunjukkan kemahirannya melalui pencak silat dalam setiap atraksi palang pintu. Menariknya adalah, atraksi pencat silat yg diperagakan umumnya menggunakan senjata tajam sejenis golok. Si jagoan atau pengawal tamu atau mempelai pria harus memenangi pertarungan tersebut. Budaya yang satu ini cenderung jenaka karena isi pantun dan aksi-aksi para pesilatnya.
Diiringi alunan musik gendang pencak, gendang dua set, kecrek, kempul, kemong, dua orang pendekar menunjukkan kemahirannya melalui pencak silat dalam setiap atraksi palang pintu. Menariknya adalah, atraksi pencat silat yg diperagakan umumnya menggunakan senjata tajam sejenis golok. Si jagoan atau pengawal tamu atau mempelai pria harus memenangi pertarungan tersebut. Budaya yang satu ini cenderung jenaka karena isi pantun dan aksi-aksi para pesilatnya.
Demi melestarikan seni budaya tradisional peninggalan nenek moyang di Kota Jakarta, seni palang pintu dapat mudah dijumpai di sanggar-sanggar atau perguruan pencak silat yang tetap mempertahankannya sebagai entitas budaya. Maka tak mengherankan bila di setiap kecamatan mempunyai kelompok yang biasa mempersembahkan seni palang pintu dalam sebuah acara. Baik itu acara hajatan warga atau pun acara resmi pemerintahan.
Pria kelahiran tahun 1989 silam ini telah berkomitmen akan terus mempertahankan seni palang pintu menjadi kesenian khas Kota Tangerang Selatan. Melalui sanggar yang dirintisnya sejak tujuh tahun ini, pembinaan sudah tidak terbatas di bidang palang pintu saja, melainkan juga seni bela diri pencak silat. Mulai dari
usia empat tahun hingga dewasa banyak yang belajar dibawah asuhannya. Bahkan, seni palang pintu ini telah diwariskan ke anak-anaknya, seperti anak ke empat, Satria Putra Andika yang berusia empat tahun ini telah mahir memainkan seni palang pintu.
"Makan Sekuteng di pasar Jumat. Makannya dicampur roti. Saya datang dengan segala hormat. Agar abang terima dengan senang hati". Kalimat ini juga biasa disampaikan sebagai tanda pantun selamat datang dalam seni palang pintu.
No comments:
Write comments